Senin, 08 April 2013

pemahaman sosoiologi perkotaan

1
BAB
PENDAHULUAN

Guna  memperoleh  pengertian  dan  pemahaman  mengenai  Sosiologi  Perkotaan atau Sosiologi Kota (Urban Sociology) yang menjadi fokus pembahasan bab ini, maka penulis perlu menyegarkan kembali memori ingatan kita pada pengertian sosiologi.


A. Pengertian Sosiologi
Secara etimologi, sosiologi berasal dari bahasa Latin: socius dan logos. Socius artinya  teman,  perikatan;  dan  logos  artinya  ilmu.  Jadi,  secara  etimologi  sosiologii berarti ilmu berteman. Syarat berteman, yaitu minimal terdapat dua orang (individu), dan hubungan di antara dua orang itu baik. Apabila hubungan di antara dua orang itu tidak  baik,  maka  akan  muncul  masalah  sosial.  Interaksi  sosial  ini  tentu  tidak  hanya terjadi di antara dua orang saja, tetapi bisa lebih, yaitu dapat terjadi antara kelompok orang dengan kelompok orang, antara individu dan kelompok orang.
Oleh    karena    itu,     dapat    disebutkan      bahwa    sosiologi     adalah     ilmu    yang mempelajari  interaksi  (hubungan  timbal  balik)  antara  seorang  individu  yang  satu dengan seorang individu yang lain, baik seseorang sebagai pribadi (individu) maupun sebagai   anggota   kelompok  orang  (masyarakat).   Di   dalam  kelompok   masyarakat terdapat  berbagai  aspek meliputi  aspek  struktur  sosial,  perubahan  sosial,  aspek budaya, status, peran, motivasi,  kepentingan, adaptasi, kesejahteraan, jumlah anggota
(penduduk), perubahan perilaku, dan lain-lain.
Istilah   sosiolog pertam kali   dikemukakan   oleh   ahli   filsafat,   moralis   dan sekaligus sosiolog berkebangsaan Perancis, Auguste Comte melalui sebuah karyanya yang berjudul Cours de  Philosophie  Positive.  Menurut Comte,  sosiologi berasal dari kata  latin  socius  yang  artinya  teman  atau  sesama  dan  Logos  dari  kata  Yunani  yang artinya cerita. Jadi pada awalnya, sosiologi berarti bercerita tentang teman atau kawan
(masyarakat).
Sebagai  sebuah ilmu,  sosiologi  merupakan  pengetahuan  kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat dikontrol secara kritis oleh orang lain  atau  umum.  Berikut  ini  definisi-definisi  sosiologi  yang  dikemukakan  berbagai ahli.
Pitirim Sorokin (Idianto M., 2004 : 11) Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari:
    hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka  macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala agama, gejala keluarga, dan gejala moral)
    Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non sosial
(gejala geografis, biologis),
    ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.


Roucek dan Warren (Sapari Imam Asy’ari : 1993 : xiii)
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara  manusia dalam kelompok- kelompok.

2

William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf (Idianto M., 2004 : 11)
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
J.A.A. Von Dorn dan C.J. Lammers (Idianto M., 2004 : 11)
Sosiologi      adalah     ilmu    pengetahuan     tentang     struktur-struktur       dan    proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.


Max Weber (Idianto M., 2004 : 11)
Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.


Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi (1974 : 14)
Sosiologi  adalah  ilmu  kemasyarakatan  yang  mempelajari  struktur  sosial  dan  proses- proses sosial termasuk perubahan sosial.


Paul B. Horton (Idianto M., 2004 : 11)
Sosiologi  adalah  ilmu  yang  memusatkan  penelaahan  pada  kehidupan  kelompok  dan produk kehidupan kelompok tersebut.


Soerjono Soekanto (2000 : 17)
Sosiologi  adalah  ilmu  yang  memusatkan  perhatian  pada  segi-segi  kemasyarakatan yang  bersifat  umum  dan  berusha  untuk  mendapatkan  pola-pola  umum  kehidupan masyarakat.


William Kornblum (Idianto M., 2004 : 11)
Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.


Alan Johnson (Idianto M., 2004 : 11)
Sosiologi  adalah  ilmu  yang  mempelajari  kehidupan  dan  perilaku,  terutama  dalam kaitannya  dengan  suatu  sistem  sosial  dan  bagaimana  sistem  tersebut  mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat di dalamnya mempengaruhi sistem itu.


Hasan Shadily (1999 : 9)
Sosiologi   ialah   ilmu   yang   mempelajari   hidup   bersam dalam   masyarakat,   dan menyelidiki tenaga kekuatan yang menguasai kehidupan itu. Ia mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan- perserikatan  hidup  itu  serta  pula  kepercayaannya,  keyakinan  dan  cara-cara  sehari- harinya yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu.


Soerjono Soekanto (2000 : 21)
Sosiologi adalah ilmu sosial (obyeknya kehidupan bersama manusia) yang kategoris, murni,  abstrak,  berusaha mencari pengertian-pengertian umum,  rasional dan empiris, serta bersifat umum.

3

Dari beberapa definisi di atas dapat disederhanakan, yaitu sosiologi adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola-pola hubungan dalam  masyarakat  serta  berusaha  mencari  pengertian-pengertian  umum,  rasional, empiris  serta  bersifat  umum.  Rasional  berarti  apa  yang  dipelajari  sosiologi  selalu berdasarkan penalaran dan empiris.


B. Pengertian Kota
Dalam  memberikan  definisi  tentang  kota,  para  ahli  kota  memberi  definisi  kota dengan dua sudut pandang, yaitu : pertama, kota atau bahasa Inggrisnya yaitu city; dan kedua daerah   perkotaan,   yaitu   kawasan   yang   memilik suasana   kehidupan   dan penghidupan  modern,  atau  dalam  bahasa  Inggrisnya  dikenal  dengan  nama  urban
(Ilham, 1990 : 4).
Perkotaan  (urban  area)  tidak  sama  artinya  dengan  kota  (city).  Yang  dimaksud dengan perkotaan (urban) adalah daerah atau wilayah yang memenuhi 3 persyaratan
(Prijono Tjiptoherijanto, Buletin Populasi, Volume 10 No. 2/1999 : 57-58) yaitu :
1.   Kepadatan penduduk 500 orang atau lebih per kilometer persegi,
2.   Jumlah  rumah  tangga  yang  bekerja  di  sektor  pertanian  sebesar  25  persen  atau kurang, dan
3.   Memiliki delapan atau lebih jenis fasilitas perkotaan.
Jenis    fasilitas     yang    digunakan     sebagai     kriteria    untuk    menentukan     daerah perkotaan  dalam  sensus  penduduk  1980  dan  1990  adalah  (1)  sekolah  dasar  atau sederajat,  (2)  sekolah  menengah  pertama  atau  sederajat,  (3)  sekolah  menengah  atas atau sederajat, (4) bioskop, (5) rumah sakit, (6) rumah bersalin/balai kesehatan ibu dan anak,  (7) pusat  kesehatan  masyarakat/klinik,  (8) jalan yang dapat dipergunakan oleh kendaraan bermotor roda tiga atau empat, (9) telepon/kantor pos/kantor pos pembantu,
(10) pasar dengan bangunannya, (11) pusat perbelanjaan, (12) bank, (13) pabrik, (14)
restoran, (15) listrik, dan (16) penyewaan peralatan untuk pesta.
Berikut ini akan disajikan serangkaian definisi kota yang dikembangkan oleh para ahli yang dirangkum kembali Ilham (1990 : 4-5) sebagai berikut :
1.   Kota  secara  etimologi  (ilmu  asal  usul  kata)  adalah  suatu  daerah  perumahan  dan bangunan-bangunan yang merupakan satu tempat kediaman.
2.   Kota  secara  umum  dapat  diartikan  sebagai  tempat  konsentrasi  penduduk  dengan segala aktivitasnya.
3.   Kota  adalah  kelompok  orang-orang  dalam  jumlah  tertentu  hidup  dan  bertempat tinggal bersama dalam suatu wilayah geografis tertentu berpola hubungan rasional, ekonomis, dan individualitis.
4.   Pengertian  kota  secara  struktural,  adalah  suatu  area/daerah  atau  wilayah  yang secara administratif memiliki batas-batas dengan di dalamnya terdapat komponen- komponen                yang         meliputi,                     antara  lain             :             penduduk                   dengan     ukuran     tertentu
(population size), sistem ekonomi, sistem sosial, sarana maupun infrastruktur yang kesemuanya  merupakan  satu  kelengkapan  keseluruhan.  Pengertian  kota  secara fungsional,  adalah  sebagai  pusat  pemukiman  penduduk  maupun  pertumbuhan dalam pengembangan kehidupan sosio kultural yang luas.
5.   
6.   
7.   

4

8.   Pada hakekatnya kota mempunyai dua macam pengertian :
Pertama        :  Kota  sebagai  suatu  wadah  yang  mempunyai  batasan  administrasi wilayah,  seperti  Kotamadya,  Kota  Administratif,  sebagaimana  telah diatur dalam perundang-undangan.
Kedua        : Kota adalah, sebagai lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri  non-agraris,  misalnya,  Ibukota  Kabupaten,  Ibukota  Kecamatan yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan dan pusat pemukiman.
Kota  sebagai  lingkungan  kehidupan  perkotaan  dapat  tumbuh  dan  berkembang melalui dua macam proses yaitu :
a.   Proses perubahan yang terjadi dengan sendirinya (proses alamiah).
b.   Proses   perubahan   yang   dibentuk diarahkan,   dikendalikan              melalui   proses perencanaan kota (city planning).
Proses  perubahan  yang  terjadi  dengan  sendirinya  dapat  menimbulkan  pelbagai masalah yang tidak menunjang bagi tercapainya tujuan dan sasaran pembangunan. Oleh  sebab  itu,  perubahan  perlu  dibentuk  secara  sadar,  diarahkan,  dikendalikan melalui proses perencanaan kota (city planning).
City  planning  mencakup  suatu  perencanaan  kota  yang  bersifat  menyeluruh  dan perencanaan yang bersifat sektoral.
9.   Kota  adalah,  pusat  pemukiman  dan  kegiatan  penduduk  yang  mempunyai  batas wilayah    yang                 administrasi                 yang    diatur     dalam    peraturan     perundangan      serta pemukiman   yang   telah   memperlihatkan   watak   dan   ciri   kehidupan   kekotaan. Sedangkan   perkotaan,   adalah   satuan   kumpulan   pusat-pusat   pemukiman   yang berperan  di  dalam  satuan  wilayah  pengembangan  dan  atau  wilayah  nasional sebagai simpul saja.
Di samping pengertian-pengertian di atas, kota mempunyai pengertian dan batasan yang  bermacam-macam  pula  sesuai  dengan  sudut  tinjauan  masing-masing  penulis. Pengertian  kota  yang  dikemukakan  itu  sebagaimana  dirangkum  kembali  Khairuddin
(2000 : 4-5) sebagai berikut :
-     Prof.  R.  Bintarto  (N.  Daldjoeni,  1997  :  23)  :  kota  dapat  diartikan  sebagai  suatu sistem  jaringan  kehidupan  manusia  yang  ditandai  dengan  kepadatan  penduduk yang  tinggi  dan  diwarnai  dengan   strata  sosial  ekonomi  yang  heterogen  dan coraknya  yang  materialistis.  Atau  dapat  pula  diartikan  sebagai  bentang  budaya yang  ditimbulkan  oleh  unsur-unsur  alami  dan  non  alami  dengan  gejala-gejala pemusatan  penduduk  yang  cukup  besar  dengan  corak  kehidupan  yang  bersifat heterogen dan materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya.
-     Sjoberg  (P.J.M.  Nas,  1979:  29):  titik  awal  dari  gejala  kota  adalah  timbulnya berbagai  kelompok  khusus,  seperti  golongan  literasi  (golongan  intelegensia  kuno seperti sastrawan, pujangga dan ahli-ahli keagamaan).
-     Wirth  (P.J.M.  Nas,  1979:  29):  Kota  adalah  suatu  pemukiman  yang  cukup  besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang-orang yang heterogen kedudukan sosialnya.
-     Max  Weber  (P.J.M.  Nas,  1979:  29):  Suatu  tempat  adalah  kota  apabila  penghuni setempatnya dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan ekonominya di pasar lokal.
-     Dwight  Sanderson  (1942:  664):  Kota  adalah  tempat  yang  berpenduduk  10.000
orang atau lebih.
-     P.J.M. Nas, (1979: 32-34): Kota dapat dilihat dari beberapa segi :
Morfologi        : Adanya cara membangun dan bentuk fisik yang berjejal-jejal.

5

Kriterium  Jumlah  Penduduk:  Sesuai  dengan  kondisi  Negara  yang  bersangkutan. Misalnya Jepang, 30.000 orang atau lebih.
Belanda, 20. 000 orang atau lebih.
India, Sailan, Belgia, dan Yunani, 5.000 orang atau lebih. Mexico, Amerika Serikat, Venezuela, 2.500 orang atau lebih.
Jerman  Barat,  Perancis  Portugal  dan  Ceko  Slovakia,  2.000  orang atau lebih.
Panama, Columbia, Irlandia batasnya adalah 1.500 orang
Selandia  adalah  1.000  orang,  sedangkan  Islandia  Kecil  300  orang atau lebih.
Hukum            :  Di sini orang sering menunjuk pada kota-kota yang dalam abad ke-
19 biasanya mengenal sistem hukum tersendiri. Pengertian kota di sini        dikaitkan         dengan        adanya    hak-hak   hukum   tersendiri                       bagi penghuni kota.  Tetapi kriterium ini pada masa sekarang tidak lagi berarti  karena  pemberian  posisi  hukum  tersendiri  bagi  kota  telah ditinggalkan.
Ekonomi          :  Suatu ciri kota ialah cara hidup yang bukan agraris. Fungsi-fungsi kota       yang     khas           adalah  kegiatan-kegiatan                                   budaya,     industri, perdagangan, dan niaga serta kegiatan pemerintah.
Sosial               :  Bersifat kosmopolitan, hubungan-hubungan sosial yang impersonal, hubungan sepintas lalu, berkotak-kotak, dan sebagainya.
Di  Indonesia,  pengertian  kota  juga  dapat  dikenakan  pada  daerah-daerah  atau lingkungan   komunitas   tertentu   sesuai   dengan   tingkatan   stratanya   dalam  struktur pemerintah.  Misalnya  untuk  daerah  tingkat  I,  disebut  Kota  Propinsi,  tingkat  II  Kota Kabupaten,  dan  seterusnya  sampai  Kota  Kecamatan.  Untuk  tingkatan  di  bawah kecamatan orang tidak lagi menyebutnya dengan kota. Luas wilayah maupun struktur kota dan adat istiadat kota setempat untuk daerah dengan tingkatan yang sama, belum tentu juga sama. Luas wilayah dan struktur kota Medan, mungkin tidak sama dengan Pekanbaru (Riau), demikian juga Bandung dengan Surabaya. Umumnya, kota-kota ini juga dapat dibagi menjadi kota besar dan kota kecil. Kota besar dimaksudkan sebagai kota yang sudah mempunyai kompleksitas dan sarana serta fasilitas yang cukup untuk memenuhi keinginan manusia. Sedangkan kota kecil mungkin masih terdapat beberapa fasilitas  yang  belum  memenuhi  kebutuhan  penduduknya.  Seseorang  mungkin  akan dapat membedakannya, baik fasilitas maupun tata caranya, apabila ia pindah dari kota kecil ke kota besar, atau sebaliknya. Di kota besar orang dapat memilih untuk mencari hiburan (beberapa bioskop, tempat-tempat rekreasi, dan sebagainya) sedangkan di kota kecil,  walaupun  ada,  mungkin  hanya  satu  dua  saja,  sehingga  tidak  memberikan alternatif lain bagi orang untuk memilih.
Jadi  melihat  pembagian  kota  di  Indonesia,  dapat  dikatakan  bahwa  kriteria  untuk menentukan apakah itu  kota propinsi,  kabupaten,  atupun kota administratif bukanlah didasarkan  pada  besarnya  wilayah,  besarnya  jumlah  penduduk,  tetapi  hanya  untuk kepentingan administratif atau teknis pemerintah.

6

C. Pengertian Sosiologi Kota


Setelah  dijelaskan  pengertian  sosiologi  dan  kota,  maka  berikut  ini  dijelaskan pengertian sosiologi kota.
Istilah   sosiologi   kota  sebenarnya   dapat  diberi  pengertian  sebagai   ilmu  yang mempelajari           hubungan                        antarmanusia,                          baik    sebagai     individu     maupun     kelompok manusia  yang  terdapat  dalam  kawasan  kota.  Sedangkan  kawasan  kota  mencakup berbagai macam, seperti ekonomi, hukum, kesehatan, dan lain-lain (Paulus Hariyono,
2007 : 18).
Sosialogi  perkotaan  atau  sosiologi  kota  (urban  sociology)  ialah  ilmu  sosiologi yang  memperlajari  atau  menganalisis  segi-segi  kehidupan  manusia  bermasyarakat dalam kawasan kota atau perkotaan (Sapari Imam Asy’ari, 1993 : xv).
Urban   sosiologi   yaitu   sosiolog yang   khusus   mempelajari   aspek   kehidupan masyarakat  kota,  baik  karena  perpindahan  maupun  karena  revolusi  industri.  Adanya urbanisasi disebabkan antara lain : adanya musim paceklik, karena penduduk kampung atau desa makin bertambah (M. Cholil Mansyur, tanpa tahun : 13).
Dengan demikian, ladang garapan sosiologi kota cukup luas, misalnya : masyarakat dan kebudayaan; kemajemukan atau kepluralitasan masyarakat kota; pola perilaku dan penataan   kawasan;    kemerosotan sosial                   dan              pemanfaatan      ruang;    manusia                      dan lingkungan alam; pola-pola sosial dalam bangunan; gerakan sosial dan pembangunan kota; dan persoalan-persoalan sosial kota lainnya.

7

BAB II
KARAKTERISASI DAN KATEGORISASI KOTA A. Karakterisasi Kota

Kota adalah suatu himpunan penduduk  masal  yang tidak agraris,  yang bertempat tinggal di dalam dan di sekitar suatu pusat kegiatan ekonomi, pemerintahan, kesenian dan ilmu pengetahuan (Soekandar Wirjaatmadja, 1985 : 133).
Kota  mempunyai  karakterisasi-karakterisasi  yang  melekat  padanya,  dan  dapat diamati  melalui  sistem  dan  jaringan  kehidupan  sosial  masyarakat.  Pada  umumnya, karakterisasi  kota  adalah  hal-hal  yang  bertolak  belakang  dengan  karakterisasi  desa. Untuk  itu  dapat  disusun  karakterisasi  kota,  sebagaimana  dikemukakan  Khairuddin
(2000 : 13-21) sebagai berikut :
1)  Pekerjaan,
2)  Ukuran masyarakat,
3)  Kepadatan penduduk,
4)  Lingkungan,
5)  Diferensiasi sosial,
6)  Stratifikasi sosial,
7)  Mobilitas sosial,
8)  Interaksi sosial,
9)  Solidaritas sosial, dan
10)Kontrol sosial.


Untuk  lebih  jelasnya  kesepuluh  karakterisasi  kota  secara  sosiologis  tersebut, akan diuraikan secara lebih jelas sebagai berikut (Khairuddin, 2000 : 13-21).
1) Pekerjaan
Sifat  pekerjaan  di  kota  tidak lagi  mengandalkan  tanah  yang luas  sebagaimana  di pedesaan.  Di kota orang lebih banyak bekerja di ruang tertutup sehingga tidak tidak dipengaruhi oleh iklim dan cuaca. Bahkan bekerja di dalam ruang sekarang ini, suhu udara   yang   ada   dapat   diatur   sesuai   dengan   yang   diinginkan,   misalnya   dengan memasang AC.
Di  samping  hal  di  atas,  pekerjaan  di  kota  juga  lebih  banyak  variasinya,  dan biasanya  berkaitan  dengan  jasa.  Variasi  pekerjaan  ini  dapat  dimungkinkan  karena banyaknya kebutuhan-kebutuhan dari penduduk kota, sedangkan semua kebutuhannya ini        tidak          dapat  dipenuhi        secara      mandiri,      atau            dikerjakan       sendiri,             sehingga     ia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya itu. Jasa yang diberikan oleh orang yang membantu itu sudah merupakan lapangan kerja tertentu di kota. Meskipun warga kota lebih menonjol individualitasnya,  tetapi mereka tidak dapat mengelakkan adanya  sikap  bergantung  pada  orang  lain  dalam  melaksanakan  aktivitas  hidupnya sehari-hari.  Mulai  dari  menyemir  sepatu  sampai  kepada  kendaraan,  pergi  ke  tempat pekerjaan, semuanya banyak tergantung kepada orang lain. Jadi kesimpulannya adalah bentuk  pekerjaan  di  kota  lebih  bervariasi,  tidak  bergantung  pada  alam,  dan  banyak menggunakan jasa orang lain.
2) Ukuran Masyarakat
Salah satu ciri masyarakat kota yang dapat terlihat jelas adalah jumlah penduduk yang besar. Berbeda dengan di pedesaan, yang sangat membutuhkan tanah luas untuk

8 pekerjaan mereka, di kota meskipun nilai tanah lebih tinggi, tetapi untuk bekerja orang tidak membutuhkan tanah yang luas sebagaimana bidang pertanian. Sehingga kondisi kota selalu ditandai dengan banyaknya bangunan-bangunan yang berdempet-dempet, baik untuk tempat pekerjaan maupun tempat tinggal. Sebagaimana definisi kota yang telah  diuraikan  di  depan,  tidak  ada  keseragaman  dari  masing-masing  negara  untuk mengukur  jumlah  penduduk  agar  suatu  komunitas  disebut  sebagai  kota.  Kriteria jumlah penduduk kota berkisar mulai dari 2.500 orang sampai 12,5 juta orang. Sesuai dengan  jumlah  penduduk  dan  luas  wilayah  kota  inilah  yang  menimbulkan  adanya pembagian  kota  menjadi  :  kota  kecil,  sedang,  dan  kota  besar.  Bagi  PBB  ukuran populasi  kota  (urban)  adalah  20.000  orang lebih;  berikutnya  500.000  ke  atas  adalah kota  besar;  2.500.000  ke  atas  adalah  kota  multi  juta;  dan  12.500.000  ke  atas  adalah kota metropolitan (Marbun, 1979: 28).
Tetapi  satu  hal  yang  penting  tentang  ukuran  penduduk  di  perkotaan  ini  adalah kepadatan penduduk,  yang menyebabkan  kota tersebut selalu ramai dan sibuk setiap harinya, sesuai dengan aktivitas kota yang lebih mobil” dibandingkan dengan desa.
3) Kepadatan Penduduk
Seperti telah dijelaskan pada ukuran penduduk, maka akibat dari jumlah penduduk yang  sangat  besar  adalah  kepadatan  penduduk,  yakni  rasio  antara  jumlah  penduduk dengan luas wilayah kota. di Indonesia kita jumpai kota-kota terpadat seperti : Jakarta, Surabaya, Yokjakarta, Medan, dan Makassar.  Kepadatan ini sudah mencapai 1.000
2.500 jiwa per kilometer persegi.  Akibat-akibat dari kepadatan penduduk di  kota ini membawa dampak positif dan negatif (Smith, T. Lynn, 1951: 47 48).
Dampak positifnya adalah :
-     Kontak sosial yang luas.
-     Tersedianya semua sarana untuk pelayanan.
-     Kesempatan untuk spesialisasi.
-     Asosiasi yang bervariasi, yang memungkinkan orang untuk menyeleksinya.
-     Bebas gossip dari anggota-anggota primer.
-     Sekolah-sekolah yang prima.
-     Tersedianya fasilitas untuk rekreasi. Adapun dampak negatifnya adalah :
-     Kemacetan, kebisingan, kegaduhan.
-     Kurangnya keleluasaan secara pribadi.
-     Tingginya biaya hidup.
-     Hubungan yang impersonal.
-     Pencemaran udara akibat asap kendaraan, rokok, jelaga.
-     Isolasi psikologis.
-     Ketegangan, nervoses, dan sebagainya.
4) Lingkungan
Lingkungan bagi masyarakat kota kebanyakan sudah dibentuk oleh tekhnologi atau tangan      manusia.               Lingkungan lebih                 bersifat buatan       (artifisial).                     Seperti     yang diungkapkan  oleh  Lynn  Smith  (1951:  48)  bahwa  di  kota  orang-orang  membuat lingkungan  mereka sedemikian rupa  sehingga  menjadi perisai antara  mereka  dengan gejala-gejala  alam.  Misalnya  dengan  membuat  AC,  alat  pemanas,  tanggul-tanggul pencegah banjir.
5) Diferensiasi Sosial

9

Diferensiasi     sosial     yang    terjadi     di  kota    semakin     kelihatan     dengan     adanya perbedaan-perbedaan   yang   besar      dalam   aktivitas kehidupan merek sehari-hari. Perbedaan  ini  menurut  T.  Lynn  Smith  (1951:  50)  erat  berkaitan  dengan  perbedaan asal-usul  populasi  di  pedesaan  dan  perkotaan.  Anak-anak  yang  lahir  di  kota  sering tidak  dapat  mengganti  dan  memenuhi  kembali  populasi  isi  kota  tersebut.  Selain  itu, bertamabahnya  penduduk  kota  lebih  banyak  diakibatkan  oleh  faktor-faktor  migrasi, yaitu perpindahan  penduduk dari daerah pedesaan  ke perkotaan,  yang secara  khusus sering  dikenal  dengan  urbanisasi.  Sebagai  akibat  dari  urbanisasi  ini,  penduduk  kota sangat bervariasi, baik sikap, suku bangsa, bahasa, dan lain-lainnya. Oleh sebab itulah sifatnya   sangat   heterogen.   Seperti   yang   diungkapkan   oleh   Pitirim   Sorokin   dan Zimmerman                        (Smith,     T.    Lynn,    1951: 50):        bahwa    kota    sangat ditandai    oleh heterogenitas,                                  keragaman       suku,     dan    unsur-unsur     budaya,    sehingga benar-benar menjadi” tempat bercampur” (melting pot)”
Orang-orang kota hidup di tengah-tengah perbedaan yang besar, yang secara tetap berhubungan  dengan  orang-orang  yang  mempunyai  perbedaan-perbedaan  dalam  ide, kepercayaan, tata kelakuan, bahasa, posisi ekonomi, jabatan, tradisi keagamaan, moral dan sebagainya. Menurut Schoorl (1980: 106-107) timbulnya diferensiasi ini, terutama yang bersifat struktural,  dikarenakan adanya  peralihan fungsi-fungsi yang dahulunya dipegang  oleh  kerabat  keluarga,  tetapi  sekarang  dipegang  oleh  organisasi-organisasi yang   lebih spesialis.          Sebagai                    contoh           disebutkan   dengan            demikian            :   di             dalam masyarakat  tradisional,  kelompok  kerabat  itu  mrupakan  satuan-satuan  penting  yang menjadi  dasar  organisasi  untuk  mengadakan  berbagai  kegiatan,  khususnya  untuk satuan   produksi,   yang   anggota-anggotanya   bersama-sam menggarap   tanah   atau melakukan suatu pekerjaan. Karena proses modernisasi, kelompok kerabat kehilangan fungsi  itu.  Hal  ini  kelihatan  bilamana  kaum  lelaki  mulai  bekerja  di  industri  atau pertambangan. Ini lebih menyolok lagi, apabila kaum lelaki untuk waktu yang singkat atau  lama  pergi  ke  kota  dan  meninggalkan  anak  isterinya  di  desa.  Apalagi  hal  ini dilihat  di  kota,  di  mana  aktivitas  mereka  sehari-hari  tidak  memungkinkan  untuk berkumpul setiap saat. Tidak jarang terjadi waktu mereka habis di tempat pekerjaan. Kalaupun      ada        hubungan                    yang  agak     erat, itupun  karena mereka              mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan saling menguntungkan satu sama lain.
Apa  yang  disebutkan  di  atas,  menurut  RDH  Koesoemaatmadja  (1978:  18)  sama dengan  sciale  desintegratie”,  yaitu  kerusakan  hubungan  antara  keluarga  yang  satu dengan  yang  lain,  disebabkan  oleh  suasana  yang  mementingkan  diri  sendiri  dan beratnya  perjuangan  hidup  yang  dialami  sehari-hari.  Disintegrasi  sosial  ini  juga disebabkan oleh  perubahan-perubahan tugas  ekonominya  masing-masing (misalnya  : Bapak  dan  anak  laki-laki  dewasa  mengerjakan  tanah,  ibu  mengurus  piring,  seorang anak laki-laki menggembala sapi, dan seterusnya), maka tugas ekonomi para keluarga yang harmonis seperti yang dimaksudkan tidak termasuk lagi pada  masyarakat  kota. Para  anggota  keluarga  sering  melakukan  berbagai  macam pekerjaan  yang satu  sama lainnya  berlainan,  bahkan  kadang-kadang  bertentangan,  misalnya  ayah  bekerja  di kantor, anak sulung berdagang, anak kedua menjadi polisi dan seterusnya.
6) Stratifikasi Sosial
Stratifikasi  sosial  di  kota  cenderung  lebih  tajam  daripada  pedesaan.  Di  kota, perbedaan   kelas   ekonom lebih   nyata   terlihat.   Kebutuhan-kebutuhan   akan   suatu kelembagaan  yang  dapat  menampung  aspirasi  dan  kepentingan  masyarakat  kota,

10 membuat  semakin  banyak  organisasi-organisasi  yang  memberikan  berbagai  macam status  dan  peranan  bagi  masyarakat  kota.  Sedangkan  organisasi  itu  sendiri  lebih banyak                merupakan         organisasi        yang     terbentuk                dari                 mereka          yang     mempunyai kepentingan-kepentingan  yang  sama,  seperti  misalnya:  Perkumpulan  Bridge,  Golf, atau  organisasi  olahraga  bergengsi  lainnya.  Sedangkan  dalam  dunia  usaha  terdapat juga  kecenderungan  untuk  membagi  kelompok  pengusaha  atas  pengusaha  besar, menengah, dan kecil.
Tetapi  berbeda  dengan  di  desa,          yang  mempunyai  sifat  tertutup  (Closed  Social Stratification)  sedangkan  di  kota  lebih  bersifat  terbuka  (Open  Social  Stratification). Dengan  demikian,  setiap  orang  dengan  kemampuan  yang  dimilikinya  mempunyai kesempatan yang sama dan terbuka untuk meniti suatu strata yang lebih tinggi. Status yang                  dimilikinya,            yang      diperoleh           karena                             perjuangan   dan            kemampuannya           itu merupakan   Achieved   Status yaitu   status  yang   diperoleh    karena  usaha   sendiri. Misalnya:  jabatan  dalam  pekerjaan,  pendidikan,  dan  sebagainya.  Menurut  Bintarto
(1983:  45)  perbedaan  tingkat  pendidikan  dan  status  sosial  dapat  menimbulkan  suatu keadaan yang heterogen. Heterogenitas ini selanjutnya akan menimbulkan persaingan, sehingga  timbul  spesialisasi  di  bidang  keterampilan  ataupun  di  bidang  jenis  mata pencaharian.  Dalam  hal  ini  pelapisan  sosial  ekonomi  dapat  ditemukan  sebagai  salah satu ciri sosial di kota.
7) Mobilitas Sosial
Karena banyaknya pofesi, penduduk kota lebih mudah beralih dari satu status ke status     lainnya.            Di             kota,         segala          sesuatu   sudah       terkelompok                   secara    profesional
(Misalnya:     guru,    dokter,    wartawan,     pengusaha,     buruh    bangunan,     bahkan    juga pedagang kaki lima) (1978: 47).
Keinginan  untuk  hidup  layak  dan  mendapatkan  posisi  atau  status  lebih  tinggi adalah  aspek  naluriah  setiap  manusia,  karena  setiap  manusia  ingin  dihormati  sesuai dengan   status   yang   dimilikinya.   Dalam   masyarakat,   semakin   tingg nilai   status seseorang,  semakin  besar  pula  penghormatan  orang  terhadap  orang  itu.  Kenaikan dalam jenjang  kemasyarakatan  ini  (Social  Climbing)  di  kota,  hanya  dapat  dilakukan dengan  usaha  dan  perjuangan  pribadi.  Perjuangan  pribadi  artinya  kemampuan  yang dimiliki oleh seseorang untuk mencapai status tersebut. Tetapi sebaliknya, seseorang dapat turun kelasnya akibat tindakannya sendiri (misalnya dipecat dari jabatan karena membuat  kesalahan).  Kondisi  seperti ini termasuk dalam kategori  mobilitas  vertikal, yang sangat mungkin dan sering terjadi pada masyarakat kota. Di samping mobilitas sosial, pengertian mobilitas bagi masyarakat kota juga dikenakan untuk mobilitas fisik, yaitu   gerakan-gerakan   yang  horizontal  dari   setiap  orang  secara  territorial,  yaitu perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Menurut Koesoemahatmadja (1978: 16-
17) sifat mudah bergerak ini dapat dilihat dari:
a.   Banyaknya  mempergunakan  berbagai  macam  kendaraan  baik  kepentingan  dinas atau perusahaan, maupun karena kegemaran semata-mata.
b.   Sering      kalinya     berpindah      tempat     tinggal,       disebabkan      karena     banyaknya kesempatan  untuk  mendapatkan  perumahan  (banyaknya  hotel-hotel  dan  rumah- rumah sewaan lainnya).
c.   Kerap kalinya bertukar pekerjaan, disebabkan lebih banyaknya pilihan-pilihan bagi tenaga-tenaga ahli yang cakap. Petani di desa-desa biasanya sukar sekali berpindah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar